GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak dua puluh tahun terakhir Gangguan Pemusatan Perhatian
ini sering disebut sebagai ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders.
Gangguan ini ditandai dengan adanya ketidakmampuan anak untuk memusatkan
perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga rentang perhatiannya sangat
singkat waktunya dibandingkan anak lain yang seusia, Biasanya disertai dengan
gejala hiperaktif dan tingkah laku yang impulsif. Kelainan ini dapat mengganggu perkembangan
anak dalam hal kognitif, perilaku, sosialisasi maupun komunikasi.
Gangguan hiperaktif merupakan salah satu
kelainan yang sering dijumpai pada gangguan perilaku pada anak. Dalam tahun
terakhir ini gangguan hiperaktif menjadi masalah yang menjadi sorotan dan
menjadi perhatian utama di kalangan medis ataupun di masyarakat umum.. Angka kejadian kelainan ini adalah sekitar 3 – 10%, di
Ameriksa serikat sekitar 3-7% sedangkan di negara Jerman, Kanada dan Selandia
Baru sekitar 5-10%. Diagnosis and Statistic Manual
(DSM IV) menyebutkan prevalensi kejadian ADHD pada anak usia sekolah berkisar
antara 3 hingga 5 persen. Di indonesia angka kejadiannya masih belum angka yang
pasti, meskipujh tampaknya kelainan ini tampak cukup banyak terjadi. Terkadang
seorang anak hanya dianggap 'nakal' atau 'bandel' dan 'bodoh', sehingga
seringkali tidak ditangani secara benar, seperti dengan kekerasan yang
dilakukan oleh orang tua dan guru akibat dari kurangnya pengertian dan
pemahaman tentang ADHD. Terdapat kecenderungan lebih sering pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan. Secara epidemiologis rasio kejadian
dengan perbandingan 4 : 1. Namun tampaknya
semakin lama tampaknya kejadiannya semakin meningkat saja. Sering dijumpai pada
anak usia pra sekolah dan usia sekolah, terdapat kecenderungan keluhan
ini akan berkurang setelah usia Sekolah Dasar. Meskipun tak jarang beberapa
manifestasi klinis tersebut dijumpai pada remaja atau orang dewasa. ADHD adalah gangguan perkembangan yang mempunyai onset
gejala sebelum usia 7 tahun. Setelah usia anak, akan menetap saat remaja atau
dewasa. Diperkirakan penderita ADHD akan menetap sekitar 15-20% saat dewasa.
Sekitar 65% akan mengalami gejala sisa saat usia dewasa atau kadang secara
perlahan menghilang. Angka kejadian ADHD saat usia dewasa sekitar 2-7%. Predisposisi kelainan ini adalah 25 persen pada keluarga
dengan orang tua yang membakat.
Deteksi
dini gangguan ini sangat penting dilakukan untuk meminimalkan gejala dan akibat
yang ditimbulkannya dikemudian hari. Hal ini harus melibatkan beberapa lapisan
masyarakat. Baik dikalangan medis maupun nonmedis. Dokter umum, dokter
spesialis anak dan klinisi lainnya yang berkaitan dengan kesehatn anak harus
bisa mendeteksi sejak dini faktor resiko dan gejala yang terjadi. Manifestasi
klinis yang terjadi dapat timbul pada usia dini namun gejalanya akan tampak
nyata pada saat mulai sekolah melakukan anamnesa terhadap orang tua dan
guru, guna mengevaluasi perkembangan dan mengarahkan pola pendidikan dan
pengasuhan anak dengan hiperaktif bila dapat dilakukan deteksi dini dan
penatalaksanaan pada tahap awal.
b.
Rumusan Masalah
Dari
Latar belakang diatas dapat disimpulkan permasalahnnya adalah sbb :
1.
Bagaimana
bentuk perhatian anak yang memiliki gangguan ADHD ?
2.
Bagaimana
factor penyebab adanya gangguan perhatian pada anak ?
3.
Bagaimana
gejala-gejala Penyebab ADHD pada anak ?
4.
Bagaimana
Mendiagnosis penyebab ADHD pada anak ?
5.
Bagaimana
mengatasi/menangani penyebab ADHD pada anak ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi ADHD /
Hiperaktifitas
Pada anak normal seringkali menunjukkan
tanda-tanda: kurang perhatian, mudah teralihkan perhatiannya, emosi yang
meledak-ledak bahkan aktifitas yang berlebihan. Hanya saja pada anak dengan
kelainan ADHD, gejala-gejala ini lebih sering muncul dan lebih berat
kualitasnya dibandingkan anak normal seusianya.
Pola perhatian anak terhadap suatu hal
terbagi menjadi beberapa klasifikasi. Kelompok yang paling berat adalah over
exklusif dimana seorang anak hanya terfokus pada sesuatu yang menarik
perhatiannya tanpa mempedulikan hal lain secara ekstrem (misalnya pada bayi
yang sedang memperhatikan kancing bajunya dan tidak mempedulikan rangsangan
lain), pola ini disebut autisme. Kelompok dengan derajat sedang terjadi fokus
perhatian anak mudah teralihkan. Perhatian hanya mampu bertahan beberapa saat
saja oleh suatu rangsangan lain yang mungkin tidak adekuat. Hal ini dinamakan
kesulitan perhatian (attention deficit hyperactivity disorder). Kondisi normal
adalah pola yang paling baik karena anak mampu memperhatikan sesuatu dan
mengalihkannya terhadap yang lain pada saat yang tepat tanpa kehilangan daya
konsentrasi, pola ini merupakan pola normal perkembangan mental anak secara
matang.
Definisi hiperaktifitas adalah suatu
peningkatan aktifitas motorik hingga pada tingkatan tertentu yang menyebabkan
gangguan perilaku yang terjadi, setidaknya pada dua tempat dan suasana yang
berbeda. Aktifitas anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan yang ditandai
dengan gangguan perasaan gelisah, selalu menggerak-gerakkan jari-jari tangan,
kaki, pensil, tidak dapat duduk dengan tenang dan selalu meninggalkan tempat
duduknya meskipun pada saat dimana dia seharusnya duduk degan
tenang.. Terminologi lain yang dipakai mencakup beberapa kelainan
perilaku meliputi : perasaan yang meletup-letup, aktifitas yang berlebihan,
suka membuat keributan, membangkang dan destruktif yang menetap.
Temperamen seorang anak adalah suatu
karakteristik yang hidup dan dinamis, meski terkadang pada seorang anak lebih
dinamis dibandingkan anak lain. Bila terjadi peningkatan aktifitas motorik yang
berlebihan pada seorang anak dibandingkan anak lain sebayanya, maka sering kali
'si-anak' dikeluhkan sebagai hiperaktif oleh orang tuanya. Penilaian semacam
ini sangat subyektif dan tergantung dari standar yang dipakai oleh orang tua dalam
menilai tingkat aktifitas normal seorang anak. Anggapan bahwa si-anak
'hiperaktif' mungkin tidak tepat jika hanya karena si-anak menunjukkan
tanda-tanda 'nakal' dan 'bikin ribut' pada saat tertentu tetapi secara
keseluruhan menunjukkan aktifitas yang normal. Dalam hal 'anak-ini' justru
kepada orang tuanya yang harus diberikan pengertian dan pengetahuan tentang
bagaimana membimbing dan mengarahkan secara benar seorang anak dengan pola
perilaku yang 'menurut orang tua' berlebihan
B. Faktor Penyebab ADHD
Penyebab pasti dan patologi
ADHD masih belum terungkap secara jelas. Seperti halnya gangguan autism, ADHD
merupakan statu kelainan yang bersifat multi faktorial. Banyak faktor yang
dianggap sebagai peneyebab gangguan ini, diantaranya adalah faktor genetik,
perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal, tingkat
kecerdasan (IQ), terjadinya disfungsi metabolisme, ketidak teraturan hormonal,
lingkungan fisik, sosial dan pola pengasuhan anak oleh orang tua, guru dan
orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya.
Banyak penelitian menunjukkan
efektifitas pengobatan dengan psychostimulants, yang memfasilitasi pengeluaran
dopamine dan noradrenergic tricyclics. Kondisi ini mengungatkan sepukalsi
adanya gangguan area otak yang dikaitkan dengan kekuirangan neurotransmitter.
Sehingga neurotransmitters dopamine and norepinephrine sering diokaitkan dengan
ADHD..
Faktor genetik tampaknya
memegang peranan terbesar terjadinya gangguan perilaku ADHD. Beberapa
penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa hiperaktifitas yang terjadi pada
seorang anak selalu disertai adanya riwayat gangguan yang sama dalam keluarga
setidaknya satu orang dalam keluarga dekat. Didapatkan juga sepertiga ayah
penderita hiperaktif juga menderita gangguan yang sama pada masa kanak mereka.
Orang tua dan saudara penderita ADHD mengalami resiko 2-8 kali lebih mudah
terjadi ADHD, kembar monozygotic lebih mudah terjadi ADHD dibandingkan kembar
dizygotic juga menunjukkan keterlibatan fator genetik di dalam gangguan ADHD.
Keterlibatan genetik dan kromosom memang masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa gen yang berkaitan dengan kode reseptor dopamine dan produksi
serotonin, termasuk DRD4, DRD5, DAT, DBH, 5-HTT, dan 5-HTR1B,
banyak dikaitkan dengan ADHD.
Penelitian neuropsikologi
menunjukkkan kortek frontal dan sirkuit yang menghubungkan fungsi eksekutif
bangsal ganglia. Katekolamin
adalah fungsi neurotransmitter utama yang berkaitan dengan fungsi
otak lobus frontalis. Sehingga dopaminergic dan noradrenergic
neurotransmission tampaknya merupakan target utama dalam pengobatan ADHD.
Teori lain menyebutkan kemungkinan adanya
disfungsi sirkuit neuron di otak yang dipengaruhi oleh dopamin sebagai
neurotransmitter pencetus gerakan dan sebagai kontrol aktifitas diri. Akibat
gangguan otak yang minimal, yang menyebabkan terjadinya hambatan pada sistem
kontrol perilaku anak. Dalam penelitian yang dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan MRI didapatkan gambaran disfungsi otak di daerah mesial kanan
prefrontal dan striae subcortical yang mengimplikasikan terjadinya
hambatan terhadap respon-respon yang tidak relefan dan fungsi-fungsi tertentu.
Pada penderita ADHD terdapat kelemahan aktifitas otak bagian korteks prefrontal
kanan bawah dan kaudatus kiri yang berkaitan dengan pengaruh keterlambatan waktu
terhadap respon motorik terhadap rangsangan sensoris.
Banyak peneliti mengungkapkan penderita ADHD
dengan gangguan saluran cerna sering berkaitan dengan penerimaan reaksi
makanan tertentu. Teori tentang alergi terhadap makanan, teori feingold yang
menduga bahwa salisilat mempunyai efek kurang baik terhadap tingkah laku anak,
serta teori bahwa gula merupakan substansi yang merangsang hiperaktifitas pada
anak. Disebutkan antara lain tentang teori megavitamin dan ortomolecular
sebagai terapinya
Kerusakan jaringan otak atau 'brain damage
yang diakibatkan oleh trauma primer dan trauma yang berulang pada tempat yang
sama. Kedua teori ini layak dipertimbangkan sebagai penyebab terjadinya
syndrome hiperaktifitas yang oleh penulis dibagi dalam tiga kelompok. Dalam
gangguan ini terjadinya penyimpangan struktural dari bentuk normal oleh karena
sebab yang bermacam-macam selain oleh karena trauma. Gangguan lain berupa
kerusakan susunan saraf pusat (SSP) secara anatomis seperti halnya yang
disebabkan oleh infeksi, perdarahan dan hipoksia. .
GANGGUAN PERKEMBANGAN OTAK
Faktor
risiko lain yang dicurigai sebagai penyebab GPPH adalah kelahiran prematur.
Begitu juga ibu yang merokok maupun minum minuman beralkohol semasa hamil.
Penelitian lain menguak fakta, anak laki-laki ternyata berpeluang lebih sering
menderita GPPH ketimbang anak perempuan dengan perbandingan sekitar 4:1. "Ada anggapan janin
laki-laki lebih rentan terkena gangguan perkembangan otak karena lebih sedikit
memiliki hormon estrogen yang melindungi otak dibanding pada janin perempuan.
Akan tetapi sekali lagi anggapan ini belum jelas terbukti," ujar Tjhin.
Sayangnya,
kasus GPPH sering lambat terdeteksi. Padahal, tegas Tjhin, makin dini diketahui
dan ditangani, makin baik pengaruhnya. Setidaknya perilaku anak tidak
menjadi-jadi. "Mereka sering bikin jengkel teman dan gurunya karena enggak
bisa diam. Lama-kelamaan ia akan disingkirkan atau sering dijadikan kambing
hitam. Dari sini bisa muncul rasa rendah diri. Tentu saja hal ini enggak bagus
buat perkembangan anak," ujar Tjhin. "Memang, permasalahan yang
umumnya dihadapi anak dengan GPPH adalah kesulitan berinteraksi."
Ironisnya,
lanjut psikiater lulusan Fakultas Kedokteran UI ini, gejala GPPH sering disalah
artikan orang tua sebagai kenakalan biasa. Apalagi bila ia seorang anak
laki-laki. Mereka akan menganggap "kebandelannya" sebagai sesuatu
yang lumrah. Tak heran laporan guru mengenai kebiasaannya mengganggu
teman-teman di kelas atau bersikap destruktif dan susah konsentrasi pada
pelajaran akan ditanggapi sambil lalu saja.
GAMBARAN
KLINIS
Lebih
lanjut Tjhin menginformasikan gejala khas GPPH ini, yaitu kesulitan memusatkan
perhatian (inatensi), kesulitan mengendalikan impuls (impulsivitas), serta
menunjukkan aktivitas berlebihan (hiperaktivitas), seperti yang dijabarkan secara
rinci berikut ini
*Kesulitan
Memusatkan Perhatian
-
Menghindari,
segan, atau sulit melaksanakan tugas yang membutuhkan ketekunan dan
kesinambungan.
-
Sering
menghilangkan benda-benda yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas atau kegiatan
lain.
-
Sulit
memusatkan dan mempertahankan perhatian saat melaksanakan tugas maupun kegiatan
bermain. Dengan kata lain, perhatiannya mudah teralih.
-
Terkesan
tidak mendengarkan lawan bicara ketika diajak berbicara langsung.
* Hiperaktivitas dan Impulsivitas
* Hiperaktivitas dan Impulsivitas
-
Selalu
dalam keadaan "siap gerak" atau aktivitasnya seperti digerakkan oleh
mesin yang senantiasa tiada henti.
-
Tidak
bisa duduk diam.
-
Mudah
terangsang dan impulsive
-
Sulit
dikendalikan.
-
Sering
berbicara berlebihan.
-
Sering
menimbulkan kegaduhan sewaktu melakukan kegiatan.
C. DETEKSI DINI GEJALA HIPERAKTIF
Untuk dapat disebut memiliki gangguan ADHD,
harus ada tiga gejala utama yang nampak dalam perilaku seorang anak, yaitu
inatensi, hiperaktif, dan impulsif. Inatensi atau pemusatan perhatian yang
kurang dapat dilihat dari kegagalan seorang anak dalam memberikan perhatian
secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak mampu mempertahankan konsentrasinya
terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali beralih perhatian dari satu hal ke hal
yang lain.
Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku
anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit
dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan
memanjat-manjat. Di samping itu, ia
cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik.
Gejala
impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu
yang tidak terkendali. Dorongan tersebut
mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata
dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk
menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau
buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti
antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk
melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang
lain.
Keluhan lain pada anak besar
adalah anak tampak Clumsy (canggung), impulsif, sering mengalami kecelakaan
atau jatuh, perilaku aneh/berubah-ubah yang mengganggu, gerakan konstan
atau monoton, lebih ribut dibandingkan anak lainnya. Agresif, Intelektual (IQ)
normal atau tinggi tapi pretasi di sekolah buruk, Bila di sekolah kurang
konsentrasi, aktifitas berlebihan dan tidak bisa diam, mudah marah dan meledak
kemarahannya, nafsu makan buruk. Koordinasi mata dan tangan jelek., sulit
bekerjasama, suka menentang dan tidak menurut, suka menyakiti diri sendiri
(menarik rambut, menyakiti kulit, membentur kepala dll) dan gangguan tidur.
Tanda dan gejala pada anak yang lebih besar
adalah tindakan yang hanya terfokus pada satu hal saja dan cenderung bertindak
ceroboh, mudah bingung, lupa pelajaran sekolah dan tugas di rumah, kesulitan
mengerjakan tugas di sekolah maupun di rumah, kesulitan dalam menyimak,
kesulitan dalam menjalankan beberapa perintah, sering keceplosan bicara,
tidak sabaran, gaduh dan bicara berbelit-belit, gelisah dan bertindak
berlebihan, terburu-buru, banyak omong dan suka membuat keributan, dan suka
memotong pembicaraan dan ikut campur pembicaraan orang lain
Gejala-gejala diatas biasanya timbul sebelum
umur 7 tahun, dialami pada 2 atau lebih suasana yang berbeda (di sekolah, di
rumah atau di klinik dll), disertai adanya hambatan yang secara signifikan
dalam kehidupan sosial, prestasi akademik dan sering salah dalam menempatkan
sesuatu, serta dapat pula timbul bersamaan dengan terjadinya kelainan
perkembangan, skizofrenia atau kelainan psikotik lainnya20).
Penderita ADHD terjadi disorganisasi afektif,
penurunan kontrol diri dan aktifitas yang berlebihan secara nyata.
Mereka biasanya bertindak 'nekat' dan impulsif, kurang sopan, dan suka menyela
pembicaraan serta mencampuri urusan orang lain. Sering kurang
memperhatikan, tidak mampu berkonsentrasi dan sering tidak tuntas dalam
mengerjakan sesuatu serta berusaha menghindari pekerjaan yang membutuhkan daya
konsentrasi tinggi, tidak menghiraukan mainan atau sesuatu miliknya, mudah
marah, sulit bergaul dan sering tidak disukai teman sebayanya.
Tidak jarang mereka dengan kelainan ini disertai adanya gangguan pertumbuhan
dan perkembangan, tetapi tidak didapatkan kelainan otak yang
spesifik. Pada umumnya prestasi akademik mereka tergolong rendah
dan minder. Mereka sering menunjukkan tidakan anti sosial dengan
berbagai alasan sehingga orangtua, guru dan lingkungannya memperlakukan dengan
tidak tepat dan tidak menyelesaikan masalah.
C. DIAGNOSIS.ADHD
Diagnosa hiperaktifitas tidak dapat dibuat hanya berdasarkan informasi sepihak dari orang tua penderita saja tetapi setidaknya informasi dari sekolah, serta penderita harus dilakukan pemeriksaan meskipun saat pemeriksaan penderita tidak menunjukkan tanda-tanda hiperaktif, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi saat pemeriksaan dan kemungkinan hal lain yang mungkin mejadi pemicu terjadinya hiperaktifitas. Pada beberapa kasus bahkan membutuhkan pemeriksaan psikometrik dan evaluasi pendidikan. Hingga saat ini belum ada suatu standard pemeriksaan fisik dan psikologis untuk hiperaktifitas. Ini berarti pemeriksaan klinis haruslah dilakukan dengan sangat teliti meskipun belum ditemukan hubungan yang jelas antara jenis pemeriksaan yang dilakukan dengan proses terjadinya hiperaktifitas. Beragam kuesioner dapat disusun untuk membantu mendiagnosa, namun yang terpenting adalah perhatian yang besar dan pemeriksaan yang terus-menerus, karena tidak mungkin diagnosa ditegakkan hanya dalam satu kali pemeriksaan.
Diagnosa hiperaktifitas tidak dapat dibuat hanya berdasarkan informasi sepihak dari orang tua penderita saja tetapi setidaknya informasi dari sekolah, serta penderita harus dilakukan pemeriksaan meskipun saat pemeriksaan penderita tidak menunjukkan tanda-tanda hiperaktif, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi saat pemeriksaan dan kemungkinan hal lain yang mungkin mejadi pemicu terjadinya hiperaktifitas. Pada beberapa kasus bahkan membutuhkan pemeriksaan psikometrik dan evaluasi pendidikan. Hingga saat ini belum ada suatu standard pemeriksaan fisik dan psikologis untuk hiperaktifitas. Ini berarti pemeriksaan klinis haruslah dilakukan dengan sangat teliti meskipun belum ditemukan hubungan yang jelas antara jenis pemeriksaan yang dilakukan dengan proses terjadinya hiperaktifitas. Beragam kuesioner dapat disusun untuk membantu mendiagnosa, namun yang terpenting adalah perhatian yang besar dan pemeriksaan yang terus-menerus, karena tidak mungkin diagnosa ditegakkan hanya dalam satu kali pemeriksaan.
Bila didapatkan seorang anak dengan usia 6
hingga 12 tahun yang menunjukkan tanda-tanda hiperaktif dengan prestasi
akademik yang rendah dan kelainan perilaku, hendaknya dilakukan evaluasi awal
kemungkinan
Untuk mendiagnosis ADHD digunakan kriteria DSM IV
yang juga digunakan, harus terdapat 3 gejala : Hiperaktif, masalah perhatian
dan masalah konduksi.
Diagnosis
ADHD, Tipe kombinasi jika terdapat pada A1 dan A2 yang didaptkan
dalam 6 bulan terakhir. ADHD tipe Inatentif redominan jika dalam kriteria
didapatkan A1, tetapi tidak didapatkan gejala pada A2 dalam 6 bulan terakhir.
ADHD Hiperaktif Predominan -Tipe Impulsif): jika kriteria didapatkan A2
tapi tidak dijumpai kriteria A1 dalam 6 bulan terakhir.
Kriteria diagnostik hiperaktifitas adalah ditemukannya 6 gejala
atau lebih yang menetap setidaknya selama 6 bulan. Gejala-gejala diatas biasanya
timbul sebelum umur 7 tahun, dialami pada 2 atau lebih suasana yang berbeda (di
sekolah, di rumah atau di klinik dll), disertai adanya hambatan yang secara
signifikan dalam kehidupan sosial, prestasi akademik dan sering salah dalam
menempatkan sesuatu, serta dapat pula timbul bersamaan dengan terjadinya
kelainan perkembangan, skizofrenia atau kelainan psikotik lainnya.
D. PENANGANAN
DINI HIPERAKTIFITAS
Melihat penyebab ADHD yang belum pasti terungkap dan adanya
beberapa teori penyebabnya, maka tentunya terdapat banyak terapi atau cara
dalam penanganannya sesuai dengan landasan teori penyebabnya.
Terapi medikasi atau farmakologi adalah
penanganan dengan menggunakan obat-obatan. Terapi ini hendaknya hanya sebagai
penunjang dan sebagai kontrol terhadap kemungkinan timbulnya impuls-impuls
hiperaktif yang tidak terkendali. Sebelum digunakannya obat-obat
ini, diagnosa ADHD haruslah ditegakkan lebih dulu dan pendekatan terapi okupasi
lainnya secara simultan juga harus dilaksanakan, sebab bila penanganan hanya
diutamakan obat maka tidak akan efektif secara jangka panjang.
Terapi nutrisi dan diet banyak dilakukan dalam penanganan
penderita. Diantaranya adalah keseimbangan diet karbohidrat, penanganan
gangguan pencernaan (Intestinal Permeability or "Leaky Gut
Syndrome"), penanganan alergi makanan atau reaksi simpang makanan
lainnya. Feingold Diet dapat dipakai sebagai terapi alternatif yang
dilaporkan cukup efektif. Suatu substansi asam amino (protein),
L-Tyrosine, telah diuji-cobakan dengan hasil yang cukup memuaskan pada beberapa
kasus, karena kemampuan L-Tyrosine mampu mensitesa (memproduksi) norepinephrin
(neurotransmitter) yang juga dapat ditingkatkan produksinya dengan menggunakan
golongan amphetamine.
Beberapa terapi biomedis dilakukan dengan pemberian suplemen
nutrisi, defisiensi mineral, essential Fatty Acids, gangguan metabolisme
asam amino dan toksisitas Logam berat. Terapi inovatif yang pernah
diberikan terhadap penderita ADHD adalah terapi EEG Biofeed back, terapi
herbal, pengobatan homeopatik dan pengobatan tradisional Cina seperti
akupuntur.
Terapi yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat
holistik dan menyeluruh. Penanganan ini hendaknya melibatkan multi disiplin
ilmu yang dilakukan antara dokter, orangtua, guru dan lingkungan yang
berpengaruh terhadap penderita secara bersama-sama. Penanganan ideal harus dilakukan terapi
stimulasi dan terapi perilaku secara terpadu guna menjamin keberhasilan terapi.
Adapun cara yang lain yang lain, Untuk
mengatasi gejala gangguan perkembangan dan perilaku pada penderita ADHD
yang sudah ada dapat dilakukan dengan terapi okupasi. Ada beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki gangguan
perkembangan dan perilaku pada anak yang mulai dikenalkan oleh beberapa
ahli perkembangan dan perilaku anak di dunia, diantaranya adalah sensory
Integration (AYRES), snoezelen, neurodevelopment Treatment (BOBATH), modifukasi
Perilaku, terapi bermain dan terapi okupasi lainnya
Anak
dengan GPPH biasanya akan diterapi secara komprehensif yang meliputi farmakoterapi,
terapi perilaku, konseling, serta pelatihan guru maupun orang tua.
Penatalaksanaan ini membutuhkan konsistensi dan kesabaran ekstra mengingat anak
dengan GPPH memerlukan keteraturan dan kedisiplinan.
Anak
dengan GPPH mengalami masalah dalam kontrol diri, padahal kontrol ini
diperlukan agar anak mengenal keteraturan dan kedisiplinan demi mencapai
keberhasilan. Contohnya, belajar di kelas bisa berhasil kalau ia dapat menekan
dorongannya untuk mengobrol. Namun yang terjadi, jika ia ingin bicara di tengah
keheningan kelas, ya, dia akan segera bicara
"Memang,
bisa dimengerti bahwa anak dengan GPPH bisa sangat menjengkelkan. Namun dalam
menghadapinya, jangan sedikit-sedikit orang tua ngomel atau malah memukul.
Kekerasan fisik sama sekali tak akan menyelesaikan masalah. Lagipula kalau
orang tua sendiri sudah memojokkan anaknya, bagaimana jadinya si anak nanti?
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
ADHD
atau Attention Deficite Hyperactivity Disorder pada anak yang merupakan
gangguan perilaku yang semakin sering ditemukan. Seringkali karena kurang
pemahaman dari orangtua dan guru serta orang-orang disekitarnya anak
diperlakukan tidak tepat sehingga cenderung memparah keadaan. Terdapat beberapa
pegangan dalam mendiagnosa ADHD, gejala hiperaktifitas harus dapat dilihat pada
setidaknya di dua tempat yang berbeda dengan kondisi (setting) yang berbeda
pula.
. Penyebab pasti dan patologi ADHD masih belum terungkap secara
jelas. Seperti halnya gangguan autism, ADHD merupakan statu kelainan yang
bersifat multi faktorial. Banyak faktor yang dianggap sebagai peneyebab
gangguan ini, diantaranya adalah faktor genetik, perkembangan otak saat
kehamilan, perkembangan otak saat perinatal, tingkat kecerdasan (IQ),
terjadinya disfungsi metabolisme, ketidak teraturan hormonal, lingkungan fisik,
sosial dan pola pengasuhan anak oleh orang tua, guru dan orang-orang yang
berpengaruh di sekitarnya.
Terapi
yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan
menyeluruh. Penanganan ini harus melibatkan multi disiplin ilmu yang dikoordinasikan
antara dokter, orangtua, guru dan lingkungan yang berpengaruh terhadap
penderita.
B. Saran
kami dari kelompok VI mengharapkan
saran dan kritikan dari rekan-rekan mahasiswa khususnya FKIP PGSD yang bersifat
membangun . Semoga makalah ini dapat dijadikan acuan dalam pengembang dunia
pendidikan Wassalam
DAFTAR PUSTAKA
1. APA: Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Washington , DC :
American Psychiatric Association Press; 1994: 78-85.
2. Ramchandani P,
Joughin C, Zwi M: Attention deficit hyperactivity disorder in children. Clin
Evid 2002 Jun; 262-71.
3. Reeves G, Schweitzer
J: Pharmacological management of attention-deficit hyperactivity disorder.
Expert Opin Pharmacother 2004 Jun; 5(6): 1313-20
4.
----------------Anak Sulit Belajar. 2009 . Geoogle
Tidak ada komentar:
Posting Komentar